Dr Muhammad Yasar STP MSc, Dosen Prodi Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala, dan Ketua Lembaga Kajian Pembangunan Pertanian dan Lingkunga
DALAM tiga pekan terakhir ini kita kerap mendengar dan membaca berita atau bisa jadi turut serta melihat dan merasakan langsung antrean beras di pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan sehingga kurang tersedia dan menyebabkan lonjakan harga yang cukup tinggi. Fenomena ini pun disikapi beragam oleh masyarakat.
Tidak sedikit di antaranya mulai mengait-ngaitkan situasi tersebut dengan aktivitas pemilu. Disinyalir banyak beras yang dikuras oleh bansos (bantuan sosial) dan logistik serangan fajar guna meraup suara rakyat. Sehingga cadangan stok beras langsung berada di posisi rest pada les merah. Hal ini tentu langsung direspons pemerintah dengan bantahan.
Menurut Menteri Perdagangan ini disebabkan oleh mundurnya masa panen petani akibat El Nino yang sempat melanda Indonesia (Tribunnews, 19/2/2024). Statement ini juga dikuatkan langsung oleh Presiden dalam banyak keterangan media dengan turut menghimbau masyarakat agar tidak perlu resah dengan situasi yang terjadi.
Pemerintah tentu segera akan mengambil langkah-langkah antisipasi untuk menormalkan kembali harga beras di pasaran. Yang salah satu paling populer sebagai langkah antisipatif itu adalah dengan mengimpornya dari negara tetangga seperti Thailand, Myanmar, Vietnam dan Pakistan.
Tidak tanggung-tanggung, kuota impor tahun ini ditambah 1,6 juta ton sehingga total kuota menjadi 3,6 ton (Kompas, 26/2/2024). Itu semua untuk menutupi kekurangan produksi beras nasional akibat dampak La Nina dan El Nino yang diperkirakan mencapai 650.000 ton.
Kesadaran kolektif
Nasib baik masih ada negara tetangga yang masih sudi dan bermurah hati membagi bekal pangannya. Sebenarnya bukan karena baik hati tapi kebetulan stock mereka masih mencukupi. Sehingga guncangan ini tidak sampaikan mengambrukkan kehidupan ekonomi dalam negeri kita.
Namun guncangan ini perlu dipandang serius sebagai sebuah stern warning oleh para pengambil kebijakan. Ternyata sebagai bangsa agraris kita sangat mudah shock oleh persoalan pangan. Dan yang memalukan adalah kita tercatat bertengger dengan nyaman dalam lima besar negara importir beras dunia.
Pemerintah mengklaim impor beras dilakukan di tahun politik ini untuk mencukupi cadangan beras pemerintah (CBP) serta keperluan bantuan sosial. Padahal pada Maret hingga Juni 2024 merupakan musim panen raya petani padi (Metrotvnews, 9/2/2024).
Dalam edisi terdahulu, Serambi Indonesia pernah menerbitkan artikel penulis dengan judul “Impor Beras, No Way!”. Tulisan tersebut secara garis besar ingin menggugah kesadaran kolektif bangsa ini agar berdaulat dalam konteks pemenuhan pangan. Konsep ketahanan pangan harus ditransformasi menjadi kedaulatan pangan. Dan itu tidak akan pernah terjadi jika mindset instan impor masih memenuhi ruang pikiran para pemangku kepentingan.
Memang tidak sampai hati kita membaca ragam media yang memberitakan fenomena antrean beras dengan harga mencekik pula. Apalagi lonjakan harga yang terjadi ternyata tidak dinikmati oleh petani. Padahal sempat beberapa petani mengkhayal, jika panen raya nanti bisa beli Pajero Sport. Tetapi apa daya, harapan itu dipastikan amblas dengan kedatangan beras impor.
Seakan di negeri ini petani memang tak boleh kaya. Harga jual petani hanya boleh untung-untung tipis alias cukup-cukup makan saja, itupun karena dibungkus subsidi dan bantuan yang tak sepenuh hati. Jika harga hasil panen petani mengalami kenaikan sedikit, maka semua akan berteriak lantang untuk menurunkan harga produk pertanian seperti cabe, bawang merah hingga beras, sementara produk non pertanian seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), hingga biaya pendidikan dan kesehatan, silakan saja naik, emangnya gue pikirin!
Kalaupun ada yang menjerit tidak semelengking efek kenaikan produk pertanian. Kelaziman hadirnya produk pertanian impor beriringan panen raya sudah menjadi hal yang lumrah di negara kita. Bisa-bisa dapat disebut sebagai tradisi yang turun menurun dari generasi pemerintah ke pemerintah. Tentu dengan dalih stabilisasi harga sebelumnya. Dan stop impor seperti menjadi sebuah kemustahilan dengan alasan mekanisme perdagangan luar negeri.
Tidak tanggung-tanggung, kuota impor tahun ini ditambah 1,6 juta ton sehingga total kuota menjadi 3,6 ton (Kompas, 26/2/2024). Itu semua untuk menutupi kekurangan produksi beras nasional akibat dampak La Nina dan El Nino yang diperkirakan mencapai 650.000 ton.
Kesadaran kolektif
Nasib baik masih ada negara tetangga yang masih sudi dan bermurah hati membagi bekal pangannya. Sebenarnya bukan karena baik hati tapi kebetulan stock mereka masih mencukupi. Sehingga guncangan ini tidak sampaikan mengambrukkan kehidupan ekonomi dalam negeri kita.
Namun guncangan ini perlu dipandang serius sebagai sebuah stern warning oleh para pengambil kebijakan. Ternyata sebagai bangsa agraris kita sangat mudah shock oleh persoalan pangan. Dan yang memalukan adalah kita tercatat bertengger dengan nyaman dalam lima besar negara importir beras dunia.
Pemerintah mengklaim impor beras dilakukan di tahun politik ini untuk mencukupi cadangan beras pemerintah (CBP) serta keperluan bantuan sosial. Padahal pada Maret hingga Juni 2024 merupakan musim panen raya petani padi (Metrotvnews, 9/2/2024).
Dalam edisi terdahulu, Serambi Indonesia pernah menerbitkan artikel penulis dengan judul “Impor Beras, No Way!”. Tulisan tersebut secara garis besar ingin menggugah kesadaran kolektif bangsa ini agar berdaulat dalam konteks pemenuhan pangan. Konsep ketahanan pangan harus ditransformasi menjadi kedaulatan pangan. Dan itu tidak akan pernah terjadi jika mindset instan impor masih memenuhi ruang pikiran para pemangku kepentingan.
Memang tidak sampai hati kita membaca ragam media yang memberitakan fenomena antrean beras dengan harga mencekik pula. Apalagi lonjakan harga yang terjadi ternyata tidak dinikmati oleh petani. Padahal sempat beberapa petani mengkhayal, jika panen raya nanti bisa beli Pajero Sport. Tetapi apa daya, harapan itu dipastikan amblas dengan kedatangan beras impor.
Seakan di negeri ini petani memang tak boleh kaya. Harga jual petani hanya boleh untung-untung tipis alias cukup-cukup makan saja, itupun karena dibungkus subsidi dan bantuan yang tak sepenuh hati. Jika harga hasil panen petani mengalami kenaikan sedikit, maka semua akan berteriak lantang untuk menurunkan harga produk pertanian seperti cabe, bawang merah hingga beras, sementara produk non pertanian seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), hingga biaya pendidikan dan kesehatan, silakan saja naik, emangnya gue pikirin!
Kalaupun ada yang menjerit tidak semelengking efek kenaikan produk pertanian. Kelaziman hadirnya produk pertanian impor beriringan panen raya sudah menjadi hal yang lumrah di negara kita. Bisa-bisa dapat disebut sebagai tradisi yang turun menurun dari generasi pemerintah ke pemerintah. Tentu dengan dalih stabilisasi harga sebelumnya. Dan stop impor seperti menjadi sebuah kemustahilan dengan alasan mekanisme perdagangan luar negeri.
Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah sejak bangsa ini berdiri, merdeka, dan membangun, kita belum mampu mengurus keagrariaan kita dengan baik walaupun senantiasa membusungkan dan menepuk dada sebagai bangsa agraris terbesar di dunia.
Duhai para pesohor negeri, malulah pada diri sendiri jika hingga saat ini masih belum memiliki itikad dan ikhtiar yang kuat dalam memajukan sektor ini. Karena ingatlah mengapa negeri ini dulunya dijajah oleh bangsa-bangsa imperialis, hanya karena bangsa ini memiliki sumber daya yang dipandang sebagai sumber kehidupan dan mereka ingin menguasainya karena menguasai sumber kehidupan berarti pemenang dalam kehidupan.
Lantas mengapa kita boh-boh droe (baca: buang-buang diri). Ingat akronim ala Soekarno, sang funding father kita, Petani adalah singkatan dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Jika mau bangsa ini kuat, kokohkan penyangganya.
Jadikan profesi petani menjadi menarik karena mendapat tempat istimewa di hati penduduk negeri agar petani mampu menjadi tuan di negerinya sendiri sehingga bangsa ini disegani dalam percaturan global akibat nilai tawar sumber kehidupan yang dimiliki dan dikuasainya.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Impor Beras vs Panen Raya, https://aceh.tribunnews.com/2024/03/19/impor-beras-vs-panen-raya?page=2.