Mahar Selangit Modernisasi Pertanian
Mahar Selangit Modernisasi Pertanian

Jakarta - Beberapa waktu yang lalu, dosen-dosen dari negeri jiran Malaysia dan Jepang bertamu ke departemen kami. Kegiatan kunjungan tersebut memang sudah menjadi program universitas sejak alih statusnya menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Mereka datang dengan membawa perspektif nan segar. Mereka berkata, teknologi pertanian kekinian sudah masuk ke era unmanned agricultural machinery atau mesin-mesin pertanian tidak berawak, dan kami mengangguki itu.

Penuturan demi penuturan saya dengar dengan takjub, sambil sesekali menyangkal di dalam hati dan membandingkan dengan kondisi kekinian di Indonesia. Jika orang di luar negeri sudah menggunakan traktor besar, petani kita umumnya masih menggunakan hand tractor atau traktor tangan. Hal tersebut terjadi tentu bukan tanpa sebab, ada banyak faktor yang menyebabkan dunia pertanian kita masih tertinggal. Salah satunya adalah lambatnya adopsi teknologi pertanian. Salah satu bukti lambatnya adopsi dan adaptasi teknologi pertanian tersebut adalah masih berlanjutnya kegiatan impor beras di Indonesia.

Terlepas dari apakah itu untuk kebutuhan konsumsi, industri, atau lainnya, hal itu tetap mengindikasikan bahwa produksi kita belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Negeri ini tidaklah kekurangan lahan pertanian padi, hanya saja agaknya kita masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam efisiensi produksi. Bicara soal produksi padi, ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya. Upaya-upaya tersebut meliputi persiapan lahan, pemilihan benih, penanaman, dan proses produksi lainnya. Namun di samping itu, alih metode proses pascapanen dari yang masih menggunakan cara-cara lama atau konvensional ke teknik modern juga patut dilakukan. Sebagai contoh, saat ini masih ada petani yang melakukan perontokan padi dengan menggunakan alat manual.

Proses manual tersebut dapat menyebabkan banyaknya gabah yang tercecer. Teknologi berupa mesin perontok padi atau power thresher sebenarnya sudah bukan hal yang baru. Sebagian besar petani telah mengenal alat ini meskipun jumlah petani yang memilikinya masih sedikit. Akar masalahnya adalah harga mesin tersebut relatif mahal bagi sebagian besar petani–yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sebab jangankan untuk membeli mesin-mesin pertanian, mencari modal memulai usaha pertanian saja tidak sedikit dari petani kita yang harus "berkompromi" dengan tengkulak. Berkaitan dengan uraian-uraian di atas, jika dibandingkan dengan berbagai negara maju di bidang pertanian saat ini, petani Indonesia bisa dibilang tertinggal dua langkah.

Saat kita masih kesulitan dengan pengadaan alat dan mesin pertanian seperti power thresher dan hand tractor, mereka sudah berbicara tentang otomasi, robotik, dan kecerdasan buatan. Revolusi industri 4.0 mendorong terjadinya modernisasi tingkat lanjut dalam dunia pertanian. Beberapa bukti dari hal tersebut adalah telah hadirnya drone sprayer sebagai pengganti alat semprot biasa. Teknologi drone membuat proses penyemprotan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Drone juga dapat menjangkau area-area pertanian yang tidak dapat dijangkau secara manual.

Praktek penggunaan drone sprayer memang sudah ada di Indonesia, namun teknologi ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Sebagai informasi, harga satu unit drone sprayer dapat mencapai 100 juta rupiah. Tingginya "mahar" sebuah drone membuat teknologi ini tidak relevan dengan mayoritas pelaku usaha pertanian Indonesia saat ini.

Adapun teknologi pertanian kekinian yang lebih mudah dijangkau adalah teknologi Internet of Thing (IoT) pada lahan pertanian. Hanya saja, ia baru bisa diterapkan pada lahan pertanian kecil dengan dukungan infrastruktur jaringan komunikasi yang memadai. Instrumen biaya "mahar" untuk modernisasi pertanian nyatanya tidak hanya soal biaya pembelian alat dan mesin, melainkan juga infrastruktur penunjangnya. Bayangkan saja, bagaimana caranya traktor besar bisa digunakan sementara akses ke sawah atau ladang hanya bisa ditempuh pejalan kaki dan kendaraan roda dua? Selain itu, pengadopsian teknologi juga harus dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang cakap dan terampil.

Dengan kata lain, modernisasi pertanian di Indonesia membutuhkan investasi yang besar. Porsi dan promosi investasi di sektor pertanian hendaknya juga menjadi prioritas bagi pemerintah dan berbagai kalangan. Saya berkesempatan mengunjungi Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) ke XVI di Padang beberapa waktu yang lalu. Ada banyak alat dan mesin serta hal-hal lain seputar teknologi pertanian yang dipamerkan di sana. Setidaknya itu menjadi bukti bahwa sebenarnya teknologi itu sudah tersedia di Indonesia, yang perlu dikuatkan saat ini adalah kemampuan petani untuk meminangnya.

Kesudahannya, adopsi teknologi memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika proses tersebut berhasil dilakukan, kedaulatan pangan dan pencapaian lainnya akan mudah untuk diwujudkan. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa di masa depan Indonesia dapat mengikuti keberhasilan Thailand, Vietnam, dan Myanmar sebagai eksportir bahan pangan seperti beras. Pemerintah dan berbagai kalangan terkait mesti bekerja sama untuk mencapai keberhasilan itu. Sebab jika tidak, status Indonesia sebagai negara agraris mungkin tidak akan pernah lebih dari sebatas pelipur lara semata.

Fadli Hafizulhaq dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas

Artikel ini telah dimuat di:

https://news.detik.com/kolom/d-6815287/mahar-selangit-modernisasi-pertanian

sumber foto (CFOTO/Future Publishing/Getty Images)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *