Mumbai, India – Globoil India merupakan konferensi dan pameran internasional minyak masak, minyak nabati dan oleokimia yang secara regular digelar di India setiap tahun.
“Pasar Edible Oil di India cukup potensial dilakukan peningkatan, terutama Indonesia merupakan produsen vegetable oil dunia. Potensi minyak kelapa sawit dan minyak kelapa Indonesia dapat dijadikan posisi tawar Indonesia untuk menguasai pasar edible oil di India. India pun juga diketahui dapat menjadi hub atau jembatan perdagangan untuk negara-negara di Kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah bahkan Eropa,” demikian disampaikan Delegasi Kementerian Pertanian, khususnya Direktorat Jenderal Perkebunan yang diwakili oleh Prayudi Syamsuri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan saat sesi diskusi, pada Globoil India yang digelar pada 28-30 September 2023, dimana Globoil kali ini menandai perhelatan yang ke-26 dan dihadiri oleh lebih dari 1.500 pengunjung.
Kegiatan Globoil tahun ini diawali dengan kegiatan 52nd Solvent Extractors’ Association of India (SEA). Globoil India SEA merupakan asosiasi pengusaha dan industri di India yang bergerak dalam bidang ekstraksi pelarut (solvent extraction) yang termasuk pengolahan minyak nabati. SEA dibentuk sejak 1963 dan beranggotakan sebanyak 875 anggota, termasuk 350 pabrik pengolahan dengan total produksi mencapai 30 juta ton.
Lebih lanjut Prayudi mengatakan, untuk menjadi produsen edible oil yang lebih kompetitif, Indonesia terus mendorong Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk diimplementasikan pada skala-skala pekebun dan perusahaan sehingga dapat memastikan seluruh praktik kelapa sawit Indonesia berkelanjutan. Selain itu, untuk mencapai keberlanjutan kelapa sawit di pekebun, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi perbaikan tata kelola terutama pada aspek regulasi hukum, peningkatan kapasitas pekebun, fasilitasi produksi dan produktivitas serta teknologi dan inovasi.
Prayudi menambahkan, perlu juga ditekankan lagi semangat kolaborasi antara negara-negara produsen dan konsumen edible oil, dan CPOPC, saya kira dapat menjembatani itu semua, sekaligus dapat mengatasi kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit Indonesia dimana harus ada strategi-strategi jitu menggunakan informasi faktual di berbagai media tentang praktik sawit Indonesia sudah pada tahap yang berkelanjutan.
Pada kesempatan yang berbeda, hal senada juga dikatakan Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah, “Minyak Sawit dan Minyak kelapa Indonesia harus mampu menembus batas-batas perdagangan dunia, khususnya India. Saya pikir kita mampu berbicara banyak di perdagangan edible oil dunia. Dunia memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan ditengah kebutuhan yang semakin meningkat akibat populasi penduduk, selain itu kondisi geopolitik dan dinamika Iklim menjadi factor bahwa dunia butuh edible oil Indonesia,” ujarnya.
Andi Nur menambahkan, ditengah kondisi-kondisi tersebut, munculnya hambatan perdagangan seperti EUDR menjadikan dorongan untuk Indonesia dalam berkolaborasi dengan negara-negara produsen minyak kelapa sawit dalam melawan diskriminasi kelapa sawit demi menjamin kesejahteraan masyarakat serta melindungi kehidupan pekebun.
Lebih lanjut dikatakan Andi Nur, bahwa kebijakan umum yang dihadapi pasar edible oil global khususnya minyak kelapa sawit, yaitu Mengurangi ketergantungan terhadap ekspor produk primer untuk mengantisipasi normalisasi harga dunia. Selama tahun 2022 didominasi oleh faktor kenaikan harga internasional, produk turunan sawit mempunyai nilai tambah karena hilirisasi yang kuat, harga bersaing, kondisi saat ini sekitar lebih dari 60% ekspor sawit merupakan produk turunan atau olahan.
Pemerintah diminta terus waspada dan antisipasi terhadap kenaikan inflasi yang tinggi dan tidak terduga di berbagai negara, Bank Dunia memperkirakan tingkat inflasi dunia akan berada di kisaran 6,5% (tekanan inflasi global). Akibat terganggunya pasokan akibat kondisi geopolitik Rusia dan Ukraina yang dapat berdampak pada peningkatan harga barang-barang dalam negeri, khususnya produk pangan berbahan dasar minyak nabati (sawit). Memitigasi risiko perlambatan ekonomi, dampak perlambatan perekonomian AS, Uni Eropa, dan Tiongkok. Lembaga keuangan dunia (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 sebesar 2,7%, turun dibandingkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 sebesar 3,2% (IMF, Desember 2022).
Perlunya mengantisipasi permasalahan perdagangan internasional, terutama terhentinya sejumlah perjanjian internasional dan meningkatnya hambatan perdagangan (tarif & non-tarif). Di tengah situasi geopolitik yang tidak menentu, setiap negara bahkan negara-negara di satu kawasan melakukan perlindungan perekonomiannya melalui NTMs (Non Tariff Measures) yang termasuk upaya proteksionisme, termasuk regulasi yang menimbulkan diskriminasi dan melupakan perjanjian WTO tentang liberalisasi perdagangan.