Mumbai, India – 2nd Sustainable Vegetable Oil Conference (SVOC) diinisiasi oleh organisasi antar pemerintah negara penghasil minyak sawit (CPOPC) yang merupakan sebuah platform untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara produsen dan konsumen minyak nabati lainnya, dalam penyediaan yang berkelanjutan di tengah tantangan global dan komitmen mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Pada agenda SVOC pertama telah digelar pada tahun 2022 di Nusa Dua, Bali, yang bersamaan dengan momentum KTT G-20 dengan Indonesia sebagai tuan rumah yang membahas masalah ketahanan pangan sebagai akibat kondisi geopolitik Rusia-Ukraina yang berimbas pada pasokan minyak nabati dunia. Untuk SVOC ke-2 tahun 2023 dilaksanakan pada tanggal 27 September 2023 di Mumbai, India juga bersamaan dengan momentum KTT G-20 dengan India sebagai tuan rumah.
SVOC kali ini adalah membahas tantangan global dalam rantai pasokan minyak nabati dan memberikan informasi pada pemangku kepentingan mengenai pembaruan dan visi terkini dalam mengembangkan strategi untuk memastikan keamanan pangan dan energi serta mengatasi persoalan keberlanjutan serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Prayudi Syamsuri pada conference tersebut mengatakan, SVOC ke-2 yang dilaksanakan di India menurut hemat kami adalah langkah yang tepat. Tentunya dengan beberapa pertimbangan, diantaranya, Pertama, India merupakan pangsa pasar sawit terbesar Indonesia. Kedua, India menghadapi tantangan pemenuhan pangan khususnya vegetable oil yang disebabkan peningkatan populasi penduduk. Ketiga, adanya dorongan yang cukup kuat di Industri vegetable oil India untuk memasok minyak sawit selain untuk kebutuhan pangan seperti biofuel, kosmetik, deterjen, dan aplikasi industri. Keempat, keunggulan minyak sawit memiliki daya saing harga dan produktivitas tinggi dibandingkan vegetable oil lainnya sehingga mudah melakukan penetrasi pasar ke negara tujuan ekspor, khususnya India. Kelima, peluang kampanye positif kelapa sawit Indonesia di India perlu terus didorong khususnya aspek keberlanjutan, kesehatan dan tracebility. Hal ini ditujukan jangan sampai hambatan dagang dalam EUDR policy di Eropa juga mempengaruhi negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia lainnya termasuk India. Keenam, adanya nota kesepahaman yang telah dibuat antara para pemangku kepentingan utama dalam industri minyak sawit di India, Indonesia dan Malaysia dalam bentuk memorandum yang bertujuan untuk mengakui ISPO, MSPO, dan IPOS (Indian Palm Oil Sustainability) sebagai kerangka keberlanjutan yang diakui untuk produksi dan perdagangan minyak sawit di negara-negara tersebut. Ketujuh, Minyak sawit berkontribusi sebesar 33% dalam konsumsi vegetable oil di India, mengungguli Soya Oil, Rape Oil dan sunflower oil, dan Kedelapan, potensi India sebagai negara konsumen terbesar kelapa sawit diharapkan dapat menjadi jembatan diplomasi bilateral dengan Indonesia untuk memperkuat kerja sama di bidang keberlanjutan, ketahanan pangan dan energi, energi terbarukan, ketahanan dan rantai nilai pangan inklusif, serta ekonomi sirkular.
Pada SVOC ke-2 ini juga diketengahkan beberapa pemapar yang membicarakan terkait supply demand vegetable oil di berbagai negara dan strategi kedepan dalam Peningkatan Inklusivitas dan Ketahanan dalam Rantai Pasokan vegetable oil melalui Sistem Pangan yang Transformatif dan Berkelanjutan.
Lebih lanjut Prayudi mengatakan, Indonesia sebagai negara produsen dan Eksportir terbesar kelapa sawit dunia perlu terus mendorong Strategi Peningkatan Inklusivitas dan Ketahanan dalam Rantai Pasokan Minyak Sawit melalui Sistem Pangan yang Transformatif dan Berkelanjutan. Tantangannya adalah populasi dunia yang terus bertambah, dan dunia berada di bawah tekanan untuk memenuhi permintaan global akan pangan dan bahan bakar. Jadi, pertanyaan kunci yang perlu dihadapi Indonesia adalah bagaimana pemenuhan minyak sawit berkelanjutan dapat memenuhi permintaan dunia secara efisien, ekonomis, dan berkelanjutan, karena bentuk pengakuan minyak sawit sudah terbukti dalam memberikan dampak positif terhadap ketahanan pangan global karena produktivitasnya yang tinggi, cakupan aplikasi yang luas, dan kemampuannya dalam meningkatkan ketahanan pangan.
Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah, dalam keterangan persnya menyatakan bahwa tantangan rantai Pasokan Minyak Sawit adalah justru bagaimana pemenuhan kelapa sawit untuk menjadi komoditas Pangan yang Berkelanjutan. EUDR policy membawa kita dan negara produsen kelapa sawit dunia pada sebuah babak baru atau new era, dimana pangan bukan hanya persoalan pemenuhan energi untuk tubuh dan aspek kesehatan tetapi lebih jauh lagi, ternyata banyak hal yang dapat di tarik benang merah dari sistem pangan ini, mulai dari kemampuan produksi dan produktivitas, kontribusi tenaga kerja, peningkatan perekonomian daerah, kualitas produk dan turunannya, ketelusuran, keberlanjutan food system, pemenuhan hak perempuan, kehidupan satwa dan lain sebagainya. Hal ini semua saya rasa cukup dipenuhi dari ISPO, tinggal bagaimana kita berjuang untuk pengakuan ISPO ke pasar dunia sebagai standar pasar komoditas kelapa sawit yang berkelanjutan.
Andi Nur menambahkan, selain EUDR, tantangan dalam Rantai Pasokan Minyak Sawit dunia adalah defisit yang akan terjadi di pasar minyak nabati global karena meningkatnya permintaan, kendala pasokan, dan faktor geopolitik. Selain itu Dampak perubahan iklim menimbulkan tantangan utama yang memerlukan kolaborasi dan kemitraan antar produsen untuk memitigasi potensi kendala pasokan yang berpotensi mengganggu ketahanan pangan dan energi.
“Produksi minyak sawit berkelanjutan muncul sebagai solusi menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan pangan global secara efisien, dengan menggabungkan inovasi, mekanisasi, dan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan. Selain itu, strategi untuk meningkatkan inklusivitas dan ketahanan dalam rantai pasokan minyak sawit juga perlu disoroti, serta kebutuhan untuk mengatasi kelaparan global melalui sistem pangan yang transformatif dan berkelanjutan. Peraturan Deforestasi Uni Eropa menghadirkan tantangan dan peluang, mendesak upaya kolaboratif dan tata kelola bersama untuk mendorong praktik berkelanjutan. Terakhir, kami menekankan pentingnya penyerapan karbon yang efektif, pengurangan emisi, dan adaptasi iklim untuk produksi minyak sawit berkelanjutan,” ujarnya.