Oleh Muhammad Yasar
SAAT ini, Aceh sedang menghadapi panen raya sebagai hasil tanam serentak yang diprogramkan oleh pemerintah dan disepakati bersama oleh petani untuk mewujudkan ketahanan pangan khususnya beras di daerah dan nasional. Berarti sebentar lagi kita pun akan menikmati gurih dan wanginya nasi breueh pade baro (beras padi baru) diiringi sumringahnya senyum petani yang puas dengan hasil panennya. Pengorbanan dan penantian selama empat bulan tidak sia-sia. Bayangan kesejahteraan dan kemakmuranpun melintas di depan mata jika pemerintah mampu memproteksi harga gabah atau beras pada neraca input dan output yang menguntungkan petani.
Di sela-sela aktivitas pemanenan padi seperti yang sempat terpantau oleh penulis di sepanjang pantai timur mulai dari Aceh Besar hingga Aceh Tamiang, terlihat pemandangan yang tidak biasa. Peran petani mulai tergantikan oleh mesin pemanen yang dikenal dengan nama Combine Harvester. Kehadiran mesin yang mengkombinasikan antara pekerjaan pemanenan padi, perontokan gabah dan pencacah jerami, kini telah diintroduksi ke dalam sistem pertanian kita. Misalnya di Aceh Barat Daya (Serambi, 15/03/2012), Bireuen (Serambi, 16/09/2014), Pidie Jaya (Serambi, 07/10/2015), dan di sejumlah kabupaten/kota lainnya di Aceh yang menurut Dinas Pertanian Aceh jumlah Combine Harvester yang terdistribusi telah mencapai 515 unit atau meningkat 98.83% selama 2013-2016 (Serambi, 29/11/2016).
Jadi kini kita telah berada pada era modernisasi pertanian yang salah satunya ditandai oleh penerapan mekanisasi secara penuh dari hulu ke hilir, mulai dari penyiapan lahan, penanaman bibit, pemanenan padi hingga penanganan pascapanennya. Di satu sisi tentunya kita sangat menyambut positif perbaikan teknologi yang mendorong peningkatan kapasitas, kuantitas dan kualitas hasil pertanian kita. Namun, di sisi lain tetap memunculkan pro-kontra atas perubahan sistem budidaya ini. Pelan namun pasti ia akan terus bergeser dari pertanian subsistem yang hanya berorientasi kebutuhan sendiri/keluarga ke pertanian komersil yang berbasis keuntungan.
Problem sosial
Beberapa kalangan mulai mengeluhkan dan mengkhawatirkan kemungkinan dampak negatif penerapan mekanisasi, terutama menyangkut kondisi sosiokultural petani kita. Malah ada beberapa desa di kawasan Aceh Besar secara ekstrem menolak aplikasi jentera ini. Di antara bentuk keluhannya adalah akibat hadirnya mesin pemanen, buruh tani merasa kehilangan pekerjaannya. Banyaknya buruh tani yang berpotensi kehilangan pendapatan ini diyakini dapat menjadi pemantik problem sosial di desa. Pengusaha alat perontok padi (thresher) juga kehilangan omset musimannya. Biasanya setiap panen raya datang, pekerjaan dan penghasilan mereka pun menjadi berlipat ganda.
Padahal keadaan serupa juga pernah berlaku ketika pertama kali tractor (mesin bajak), thresher (mesin perontok), dan rice milling (mesin penggiling) diperkenalkan dalam usaha tani. Petani pencangkul tanah dan hewan pembajak sawah sempat kehilangan lapangannya ketika berbagai jenis dan tipe traktor digunakan sebagai alat pengolah tanah. Buruh perontok padi juga kehilangan penghasilan setelah tergantikan oleh berbagai jenis dan tipe thresher. Demikian juga buruh penumbuk padi harus pensiun tergantikan oleh mesin penggiling padi, bahkan sejak hadirnya mesin penggiling padi keliling omset pengusaha kilang padi pun ikut menurun drastis.
Tidak dapat dinafikan bahwa setiap perkembangan dan kemajuan teknologi akan disertai dengan perubahan-perubahan substansial dalam kehidupan manusia baik yang berdampak positif maupun negatif. Dalam jangka pendek dan pandangan parsial, keluhan di atas sangat betul adanya dan sangat terasa terutama bagi buruh tani yang minim keterampilan. Jika selama ini mereka dapat menikmati lonjakan rezeki musiman dua kali dalam setahun setiap panen tiba, kini mereka harus menganggur untuk menonton aksi para operator mesin sambil meublek-blek aneuk mata. Sehingga wajar jika kemudian ada yang bereaksi akibat tidak dapat menerima dengan baik usaha perbaikan teknologi yang sedang digenjot pemerintah dalam mempercepat terwujudnya kedaulatan pangan tersebut.
Padahal di kalangan petani sendiri sangat merasakan syafaat dari penggunaan mekanisasi jenis combine ini. Mereka mengaku bisa menghemat biaya panen 40-50% dari biasanya. Pekerjaannya pun sangat cepat. Biasanya mereka bekerja sampai berhari-hari, kini hanya dalam hitungan jam semua gabah sudah terkarung rapi dalam goni, tinggal diangkut dan disimpan dalam gudang atau diantar ke penggilingan untuk dijadikan beras. Kehilangan hasil saat panen juga dapat dikurangi dari rata-rata di atas 10% menjadi 2-3% saja. Begitu efektif dan efesien jika ditinjau dari aspek hasil, waktu, tenaga dan biaya.
Dari itu tentunya introduksi mekanisasi dalam sektor pertanian tidak perlu disikapi dengan aroma antipati dan rasa khawatir yang berlebihan. Karena secara umum kehadiran teknologi adalah untuk membantu dan memberi keuntungan yang lebih baik kepada penggunanya dan masyarakat dalam konteks yang lebih luas. Persoalan kemudian ada pihak yang merasa dirugikan merupakan suatu kewajaran dan bersifat alamiah. Yang harus diperhatikan kemudian adalah mana lebih besar manfaat dibanding mudharat, atau mana lebih ramai penikmat keuntungan dibanding penderita kerugiannya.
Upaya antisipasi
Guna meminimalisir dampak-dampak yang kurang menguntungkan tersebut, ada beberapa upaya antisipasi yang seyogyanya dilakukan: Pertama, masyarakat kita yang dinamis ini perlu dipersiapkan secara kapasitas dan kapabilitas. Kita tidak mungkin membendung derasnya arus perubahan dan kemajuan zaman. Agar tidak tergilas olehnya, maka masyarakat harus dibekali kemampuan untuk mengabsorbsi, mengadopsi, mengadaptasi, dan mengaplikasi perkembangan inovasi dan teknologi. Jalan satu-satunya adalah lewat jalur pendidikan dan pelatihan dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia tani yang handal dan terampil.
Memang, ada hal paradok yang terjadi di sektor pertanian, di mana peningkatan taraf pendidikan justeru berbanding terbalik dengan ketersediaan tenaga kerjanya. Semakin tinggi jenjang sekolah seseorang, semakin kurang pula minat untuk menggeluti sektor pertanian, apalagi subsektor tanaman pangan khususnya beras. Di sinilah letak satu kontribusi mekanisasi dalam menyelesaikan masalah ketersediaan dan kebutuhan tenaga kerja yang secara tidak langsung juga mampu mendorong daya tarik kaum terdidik untuk menekuni sektor ril ini.
Kehadiran mekanisasi bukannya untuk menciptakan pengangguran tetapi justeru memperluas peluang pekerjaan dan meningkatkan aktivitas ekonomi yang baru. Sebagai contoh dengan terpangkasnya waktu yang seharusnya dipergunakan untuk pemanenan, maka petani dapat memanfaatkan kelebihan waktunya untuk mengerjakan hal-hal produktif lainnya seperti: menanam jenis sayuran dan hortikultura, memelihara ikan, menternak hewan, atau berjualan di pasar.
Kedua, perlunya penguatan sistem manajemen operasional dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Jika diperhatikan, hampir di setiap daerah ditemukan rongsokan alat dan mesin pertanian. Penyebabnya adalah tidak tersedianya perbengkelan pertanian yang di dalamnya termasuk ketersediaan suku cadang, tenaga teknis, dan operator yang representatif untuk mengurus pengelolaan.
Sistem pengelolaan yang diserahkan ke Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) secara konseptual sudah sangat baik karena menggunakan metode penglibatan partisipatif para petani atau kelompok tani (koptan), sehingga penguasaan alsintan yang menganut sistem kapitalis yang penuh kesenjangan dapat dieliminir. Tinggal saja bagaimana usaha kita untuk memberdayakan dan mengefektifkan peran dan fungsi UPJA tersebut secara tepat, berkelanjutan dan berkesinambungan.
Ketiga, strategi pengembangan mekanisasi pertanian harus turut memperhatikan aspek sosiokultural. Lazimnya sebuah upaya modernisasi tentu berpotensi merubah kondisi, sikap bahkan perilaku masyarakat. Beralihnya penggunaan tenaga dari banyak manusia ke sedikit manusia tentunya akan merubah berbagai tradisi yang selama ini berkembang di tengah masyarakat. Dengan sendirinya budaya seperti meuseuraya (gotong royong), kanduri blang (kenduri turun ke sawah), dan berbagai bentuk kearifan lokal lainnya akan memudar atau bahkan sirna berganti budaya yang lebih bersifat individualistik dan materialistik.
Oleh sebab itu, penguatan kelembagaan petani berbasis kearifan lokal (local wisdom) perlu terus ditumbuhkembangkan dan dilestarikan. Keujruen Blang, Sineubok, dan Pawang Uteun merupakan antara kelembagaan lokal yang memiliki kaitan langsung dengan kegiatan bersawah. Melalui penglibatan kelembagaan berbasis adat ini, nilai-nilai tersebut terus digali dan dijaga keutuhannya dalam rangka menopang proses modernisasi itu sendiri.
Kita harapkan proses modernisasi pertanian melalui penerapan dan pengembangan mekanisasi ini dapat memperkuat Aceh sebagai satu lumbung pangan Nasional, di mana hasil produksi pertanian terus meningkat, kesejahteraan petani tercapai, ketahanan dan kedaulatan pangan pun terwujud. Semoga!
* Dr. Muhammad Yasar, S.TP., M.Sc., Dosen Program Studi Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: yasar.unsyiah@gmail.com
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Modernisasi Pertanian Aceh, https://aceh.tribunnews.com/2017/03/16/modernisasi-pertanian-aceh.